ora et labora

mencari dengan hati . asa . doa

We’re in the same boat April 13, 2020

Filed under: Uncategorized — askar @ 4:41 pm

2016
Kejang demam ketiga mba zi, saat saya tanya ke dokter, apa yg harus saya lakukan agar hal ini tidak terulang? Dokter mengatakan kurang lebih ya intinya karena saya sudah agak2 lupa, jangan sampai demam, sebisa mungkin hindari pemicunya, kalau anget atau sekiranya mau demam langsung dikasi penurun demam, jangan sampai tinggi. Dan karena dokter anak ini emang rada ketat, beliau juga mengharamkan makanan bayi kemasan (semua harus homemade, gluten free), penggunaan diapers, kemungkinan alergi dsb sebagai hal2 pemicu demam. Ketika itu yang terjadi kemungkinan mba zi mengalami roseola infantum, orang jawa menyebutnya gabaken, tapi kata dokter bukan campak. Normalnya KD akan hilang di umur 5 tahun, meskipun ada beberapa kasus diluar itu

Rabu, 3 Mei 2017
Kejang demam keempat mba zi, ketika saya menanyakan hal yang sama dua dokter berbeda di dua RS yang berbeda mengatakan hal yang sama. Jangan sampai demam, 37.5-38 segera beri obat penurun panas, hindari pencetus demam. Pada saat itu penyebabnya batuk pilek biasa, sangat biasa dialami semua bayi dan balita. Apakah termasuk ga boleh batuk pilek dan common cold dok? Iya, jangan sampai. Dokter pertama setahun yg lalu juga menyebutkan hal yg sama, jangan sampai panas, jangan sampai common cold, harus dijaga. Itu saja yg bisa kita upayakan. How come anak batita gak boleh common cold? How come??

Jumat, 5 mei 2017 jam 8 malam
Pulang dari RS, melewati tulisan IGD, benar2 berharap tak harus kesini lagi. Meski itu ternyata bukan terakhir kalinya buat mba Ziya, 6x lebih harus mampir IGD/UGD  menyisakan trauma di saya. Perjalanan paling mengerikan memang perjalanan ke IGD/UGD dimana hanya kalut yang dirasa, cuma satu yg dipikirkan, tolong selamatkan nyawanya, sekalut itu.
Nyatanya 9 jam selepas meninggalkan UGD saya harus kembali ke sana untuk persalinan adik mba ziya, di 6 mei jam 5 pagi. Perawat dorong hospital bed itu rasanya ingin mengingkari, saya belum ingin kesini lagi, segitu traumanya.

Sejak penjelasan dari dokter itu saya menjadi parno berlebih yang entah manusiawi atau tidak.
Tiap mba Ziya anget dikit saya buru2 ambil termometer, 37.7 uda pastilah langsung saya kasi penurun demam sesuai anjuran dokter. Panas diatas 38 udah deh itu kondisi saya berusaha untuk sangat bisa tenang, tapi kenyataan di dalamnya sangatlah ambyar. Berusaha tenang, fokus tapi tetep ga tenang, langsung mules pastinya, deg2an parah, pegang sendok obat geter, tidur sambil pegangin tangan mba ziya, dia gerak dikit, gatel dikit, saya otomatis kebangun dan ga bisa tidur lagi. Fyi, mba ziya mengalami KD itu di suhu 37.5 – 38.5 jadi sebenarnya ga yang panas2 banget. Pernah dia sampai di suhu 40.5 bahkan 41 tapi Alhamdulillah ga kenapa2, meskipun tetep geter badannya. Begitu kaget getar dikit pas tidur langsung saya panggil saya bangunkan untuk minum biar dia sadar. Entah itu bener secara medis atau tidak hanya reaksi otomatis saja.

Maka dari itu cuma 37.5 pun cukup membuat saya menjadi fever phobia hingga sekarang. Kalau ada yg bilang terlalu berlebihan memberi obat panas, harusnya bisa pakai herbal bla bla bla, terlalu panik, saya membenarkan itu dan saya sangat hargai masukannya. Hanya saja batas anak berbeda-beda dan sejak saat itu saya menjadi mengerti mengapa orang bisa dengan mudah menjadi ketakutan atas hal2 kecil yang menurut orang lain bisa dilupakan.
Menggendong anak dipangkuan dan tidak sanggup melihat kondisinya, memikirkan apakah dia bisa selamat atau tidak, tidak sebercanda itu.

Sejak saat itupun salah satu bentuk reaksi yang tidak wajar adalah, saya menjadi cemas ketika orang2 didekatnya sedang sakit meskipun hanya batuk pilek biasa. Ingin rasanya menarik mba zi membawanya jauh dari orang2 tapi takut mereka tersinggung. Kalau ada orang didekatnya batuk mendadak saya ikutan was2.
Bahkan ketika grup kelas kakaknya sudah penuh dengan ijin2 sakit, saya mulai cemas lagi. Saya ga secemas itu kalau kakaknya sakit, santai sih, bukan karena tidak sayang, tapi karena memang saya yakin kakaknya akan bisa melewati sakit tanpa efek apapun. Masalahnya ketika itu mereka bertiga masih balita ketiganya dan rentan tertular, kalau ga besoknya ya minggu depan atau bahkan dua minggu kemudian secara bergiliran pada saatnya.
Meskipun saat itu saya membedakan piring gelas sendok makan yang sakit tapi tetap saja mau ga mau kita hanya bisa tidur di satu kamar yang sama.
Pun ketika lagi musim cacar disekolah kakak, saya sampai meliburkan kakaknya satu minggu dan kemudian parno lagi, bukan karena takut repot, saat itu pikiran saya sama semua, saya bener2 ga ingin mba ziya sampai panas itu saja.
Mungkin bagi orang lain sangat tidak wajar sampai separno itu, sampai was was sama orang batuk pilek disekitar, kelas yang mulai banyak anak sakit dll, tapi bagi saya kejadian berulang 4x itu masih teringat jelas hingga sekarang, dan mengikuti anjuran dokter akan benar benar saya upayakan sebisa mungkin.

2020
Seem familiar?
Ya saat ini mulai merasakan lagi kecemasan itu, bukan karena panik tapi lebih ke bentuk kewaspadaan. Ga enak badan sedikit, batuk sedikit mulai gempur dengan beraneka macam imunitas tubuh, pun mulai mengingat kemarin kontak dengan siapa saja.
Bedanya, dulu saya merasakan itu dan menjalaninya sendiri, dan menjadi sangat sungkan takut orang lain jadi tersinggung.
Sekarang, semua orang menjalani prosedur yang sama, kewaspadaan milik semua orang.

Secuil kisah tersebut tentunya sangat tidak ada apa2nya sama sekali dibanding teman2 yang putranya mengalami sakit bawaan lahir, sakit yg lebih parah, hingga PICU hanyalah makanan sehari2 mereka.
Hal tersebut kemudian menjadi refleksi diri untuk jauh lebih bersyukur dengan kesehatan mereka. Segala kejenuhan dan kelelahan dan hal2 terdampak lainnya menjadi tidak ada apa2nya. Mari kita nikmati bersama semua orang di dunia, semua terdampak dari skala ringan hingga berat.
Tapi saya tetap saja sih bukan golongan orang2 yang mengharamkan marah pada anak. Lebih realistis tepatnya.
Segeralah berlalu.IMG_20200402_105403

 

Leave a comment